Skip to content
Home » Informasi » TARI GUEL

TARI GUEL

  • by

Fungsi Tari :
Hiburan/ Tontonan Rakyat, dan Bagian dari upacara adat

Jumlah Penari : Kelompok
8-10 penari perempuan dan 2-4 penari laki-laki (jumlah penari bias kurang ataupun lebih, menyesuaikan ruang pentas dan kebutuhan acara)

Lokasi
Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah

Tahun
Perkiraan pada abad ke-13

Pencipta
Anonim

Unsur Penyajian Tari

Penari : Ditarikan oleh penari Laki-laki dan penari perempuan

Musik : Syair, alat musik Canang, Gong, Rebana, dan Memong. Jumlah pemusik minimal 4 orang

Kostum : Pakaian adat suku gayo, menggunakan kain kerrawang gayo

Properti : Kain kerrawang gayo

Pentas : Arena
Biasa ditarikan di halaman atau ruang terbuka

Ket : –

Deskripsi Singkat Tari

Berdasarkan cerita rakyat yang berkembang di daerah gayo, bahwa tari guel berawal dari mimpi seorang pemuda bernama Sengeda, yakni anak Raja Linge ke XIII. Sengeda dalam mimpinya bertemu saudara kandungnya Bener Meria yang konon telah meninggal dunia karena pengkhianatan. Bener Meria dalam mimpi tersebut memberi petunjuk kepada Sengeda tentang kiat mendapatkan Gajah putih sekaligus cara meenggiring Gajah tersebut untuk dibawa dan dipersembahakan kepada Sultan Aceh Darussalam. Adalah sang putri Sultan sangat berhasrat memiliki Gajah Putih tersebut.

Berbilang tahun kemudian, tersebutlah kisah tentang Cik Serule, perdana menteri Raja Linge ke XIV berangkat ke Ibu Kota Aceh Darussalam (sekarang kota Banda Aceh). Memenuhi hajatan sidang tahunan Kesutanan Kerajaan. Nah, Sengeda yang dikenal dekat dengan Serule ikut dibawa serta. Pada saat-saat sidang sedang berlangsung, Sengeda rupanya bermain-main di Balai Gading sambil menikmati keagungan Istana Sultan. Pada waktu itulah ia teringat akan mimpinya waktu silam, lalu sesuai petunjuk saudara kandungnya Bener Meria ia lukiskanlah seekor gajah berwarna putih pada sehelai daun Neniyun (Pelepah rebung bambu), setelah usai, lukisan itu dihadapkan pada cahaya matahari.  Tak disangka, pantulan cahaya yang begitu indah itu mengundang kekaguman sang Puteri Raja Sultan. Dari lukisan itu, sang Putri menjadi penasaran dan berhasrat ingin memiliki Gajah Putih dalam wujud asli. Permintaan itu dikatakan pada Sengeda. Sengeda menyanggupi menangkap Gajah Putih yang ada dirimba raya Gayo untuk dihadapkan pada tuan puteri dengan syarat Sultan memberi perintah kepada Cik Serule.

Kemudian dalam prosesi pencarian itulah benih-benih dan paduan tari Guel berasal: Untuk menjinakkan sang Gajah Putih, diadakanlah kenduri dengan meembakar kemenyan, diadakannya bunyi-bunyian dengan cara memukul-mukul batang kayu serta apa saja yang menghasilkan bunyi-bunyian. Sejumlah kerabat Sengeda pun melakukan gerak tari-tarian untuk memancing sang Gajah. Setelah itu, sang Gajah yang bertubuh putih nampak keluar dari persembunyiaannya.

Ketika berpapasan dengan rombongan Sengeda, sang Gajah tidak mau beranjak dari tempatnya. Bermacam cara ditempuh, sang Gajah masih juga tidak beranjak. Sengeda yang menjadi pawang pada waktu itu menjadi kehilangan ide untuk menggiring sang Gajah. Lagi-lagi Sengeda teringat akan mimpi waktu silam tentang beberapa petunjuk yang harus dilakukan. Sengeda kemudian memerintahkan rombongan untuk kembali menari dengan niat tulus dan ikhlas sampai menggerakkan tangan seperti gerakan belalai gajah: indah dan santun. Disertai dengan gerakan salam sembahan kepada Gajah ternyata mampu meluluhkan hati sang Gajah. Gajah pun dapat dijinakkan sambil diiringi rombongan. Sepanjang perjalanan pawang dan rombongan, Gajah putih sesekali ditepung tawari dengan mungkur ( jeruk purut ) dan bedak hingga berhari-hari perjalanan sampailah rombongan ke hadapan Putri Sultan di Pusat Kerajaan Aceh Darussalam. Begitulah sejarah dari cerita rakyat di Gayo, kemudian Tari Guel dalam perkembangannya tetap mereka ulang cerita unik Sengeda, Gajah Putih dan sang Putri Sultan. Inilah yang kemudian dikenal temali sejarah yang menghubungkan kerajaan Linge dengan Kerajaan Aceh Darussalam begitu dekat dan bersahaja

Tari Guel adalah salah satu khasanah budaya Gayo di Provinsi Aceh. Guel berarti membunyikan. Khususnya di daerah dataran tinggi gayo, tarian ini memiliki kisah panjang dan unik. Para peneliti dan koreografer tari mengatakan tarian ini bukan hanya sekedar tari. Dia merupakan gabungan dari seni sastra, seni musik dan seni tari itu sendiri. Dalam perkembangannya, tari Guel timbul tenggelam, namun Guel menjadi tari tradisi terseniaceh dalam upacara adat tertentu. Guel sepenuhnya apresiasi terhadap wujud alam, lingkkungan kemudian dirangkai begitu rupa melalui gerak simbolis dan hentakan irama. Tari ini adalah media informatif. Kekompakan dalam padu padan antara seni satra, musik/suara, gerak memungkinkan untuk dikembangkan (kolaborasi) sesuai dengan semangat zaman, dan perubahan pola pikir masyarakat setempat.

Pertunjukan atraksi Tari Guel, yang sering kita temui pada saat upacara perkawinan, khususnya di Tanah Gayo, tetap mengambil spirit pertalian sejarah dengan bahasa dan tari yang indah: dalam Tari Guel. Reinngkarnasi kisah tersebut, dalam tari Guel, Sengeda kemudian diperankan oleh Guru Didong yakni penari yang mengajak Beyi (Aman Manya) atau Linto Baroe untuk bangun dari tempat persandingan (Pelaminan). Sedangkan Gajah Putih diperankan oleh Linto Baroe (Pengantin Laki-laki). Pengulu Mungkur, Pengulu Bedak diperankan oleh kaum ibu yang menaburkan breuh padee (beras padi) atau dikenal dengan bertih.

Penari

Di tanah Gayo, dahulunya dikenal begitu banyak penari Guel. Seperti Syeh Ishak di Kampung Kutelintang-Pengasing, Aman Rabu di kampung Jurumudi-Bebesan, Ceh Regom di Toweran.  Penari lain yang kurun waktun 1992 sampai 1993 yang waktu itu masih hidup adalah Aman Jaya-Kampung Kutelintang, Umer-Bebesan, Syeh Midin-Silih Nara Angkup, Safie-Gelu Gele Lungi-Pengasing, Item Majid-Bebesan. Mereka waktu itu rata-rata sudah berusia 60-an. Saat ini sudah meninggal sehingga alih generasi penari menjadi hambatan serius. Walaupun ada penari yang lahir karena bakat sendiri, bukan langsung diajarkan secara teori dan praktik oleh para penari pakar  seperti disebutkan, keterampilan menari mereka tak sepiawai para pendahulunya. Begitu juga pengiring penggiring musik tetabuhan seperti Rebana semakin langka, apalagi ingin menyamakan dengan seorang dedengkot almarhum Syeh Kilang di Kemili Bebesan.

Tari Guel dibagi dalam empat babakan baku. Terdiri dari babak Mu natap, Babak II Dep, Babak III Ketibung, Babak IV Cincang Nangka. Ragam Gerak atau gerak dasar adalah Salam Semah (Munatap), Kepur Nunguk, Sining Lintah, Semer Kaleng (Sengker Kalang), Dah-Papan. Sementara jumlah para penari dalam perkembangannya terdiri dari kelompok pria dan wanita berkisar antara 8-10 (Wanita), 2-4 ( Pria ). Penari Pria dalam setiap penampilan selalu tampil sebagai simbol dan primadona, melambangkan aman manyak atau lintoe Baroe dan Guru Didong. Jumlah penabuh biasanya minimal 4 orang yang menabuh Canang, Gong, Rebana, dan Memong. Tari Guel memang unik, pengalaman penulis merasakan mengandung unsur dan karakter perpaduan unsur keras lembut dan bersahaja. Bila para pemain benar-benar mengusai tarian ini, terseniaceh peran Sengeda dan Gajah Putih maka bagi penonton akan merasakan ketakjuban luar biasa. Seolah-olah terjadinya pertarungaan dan upaya mempengaruhi antara Sengeda dan Gajah Putih. Upaya untuk menundukkan jelas terlihat, hingga kipasan kain kerawang Gayo di Punggung Penari seakan mengandung kekuatan yang luar biasa sepanjang taarian. Guel dari babakan ke babakan lainnya hingga usai selalu menawarkan uluran tangan seperti tarian sepasang kekasih ditengah kegundahan orang tuanya.
Tidak ada yang menang dan kalah dalam tari ini, karena persembahan dan pertautan gerak dan tatapan mata adalah perlambang Cinta. Tapi sayang, kini tari Guel itu seperti kehilangan Induknya, karena pemerintah sangat perhatian apalagi gempuran musik hingar modern seperti Keyboard pada setiap pesta perkawinan di daerah itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jln. Transmigrasi, Gampong Bukit Meusara, Kec. Kota Jantho, Kab. Aceh Besar, 23911,, Aceh, Indonesia

Rektorat ISBI Aceh
Email : [email protected]
Telepon : +62 811-6891-581 (Call Center)
Fax : 0651-92023

Isi survei performa situs web

© 2022 Institut Seni Budaya Indonesia Aceh – Webmaster All Rights Reserved – Privacy and Copyright