Skip to content
Home » Informasi » ISBI, Visi Budaya Islami dari Bukit Meusara

ISBI, Visi Budaya Islami dari Bukit Meusara

  • by

OLEH ACHMAD ZAKI, Dosen Institut Seni Budaya Indonesia ( ISBI) Aceh dan Sekretaris II Komite Seni Budaya Nusantara Provinsi Aceh, melaporkan dari Jantho, Aceh Besar

BERCERMIN pada sejarah, Islam bukan hal yang asing bagi masyarakat Aceh.

Hampir seluruh perjalanan sejarah etnis Aceh tidak terlepas dari pengaruh Islam.

 

Membahas tentang Aceh, maka tidak akan lengkap tanpa memasukkan unsur Islam ke dalamnya.

Puncaknya adalah pada saat Sultan Iskandar Muda mengimplementasikan nilai keislaman dalam sebuah undang-undang kenegaraan yaitu Qanun Meukuta Alam, maka “kafah”lah nilai keislaman menyelimuti sisi kehidupan bangsa Aceh pada saat itu.

Hal ini pula yang membuat Aceh menempatkan fokus kebudayaan pada nilai-nilai keislaman.

Sebuah ‘hadih maja’ atau pepatah yang cukup populer dalam masyarakat Aceh, yakni adat ngon hukom lage zat ngoen sifeut.

 

Artinya, budaya dan hukom (agama) menyatu seperti zat dengan sifat.

Tindak tanduk dalam kebudayaan sejalan dengan aturan agama Islam.

 

Apabila terdapat kebudayaan yang melenceng dari aturan Islam, maka kebudayaan itu yang akan disesuaikan, bukan agama yang dipaksa untuk mengikuti kebudayaan tersebut.

Dalam proses penyebarannya, Islam pun telah banyak mengakomodasi berbagai kebudayaan lokal dan menjadikannya sebagai salah satu sarana dalam berdakwah.

 

Ini juga membuktikan bahwa Islam dan kebudayaan dapat berjalan dan berkontribusi secara bersama.

Dewasa ini “kemesraan” seni budaya dengan nilai keislaman mengalami sedikit gejolak dan ramai diperbincangkan dalam beberapa waktu lalu.

Kondisi ini bermula pada saat Fatwa MPU Aceh Nomor 12 Tahun 2013 tentang Seni Budaya dan Hiburan Lainnya dalam pandangan syariat Islam khususnya pada butir ketiga Fatwa MPU yang berbunyi, “Syair dan nyanyian tidak disertai dengan alatalat musik yang diharamkan seperti bass, piano, biola, seruling, gitar, dan sejenisnya.

 

Poin ketiga ini yang paling banyak mendapat sorotan, bahkan ada yang berkomentar “kiban ta meueun musik menyoe hana alat nyan?” Poin ini juga menjadi menarik karena ada syarat khusus yang diharamkan dalam pertunjukan seni musik di Aceh.

Tentu, apabila ada yang hal haram maka akan ada juga bagian halalnya.

Poin kedua dalam fatwa tersebut menyebutkan seni yang diperbolehkan adalah syair dan nyanyian tidak bertentangan dengan hukum Islam.

 

Fatwa itu sudah disahkan pada 2013 lalu, kemudian menjadi viral kembali pada tahun 2022.

Tentu menjadi pertanyaan, kenapa bisa muncul kembali? Kenapa bisa viral kembali? Sedangkan dalam medio 2013–2022 telah banyak juga digelar konserkonser di Aceh yang seperti “peueleh” fatwa tersebut.

Kondisi ini menggambarkan ada hal yang belum selesai dibahas secara komprehensif.

Terdapat sesuatu yang di“peukabom” dalam menyikapi fatwa dan reaksi sebagian masyarakat.

Hingga akhirnya Dinas kebudayaan dan Pariswisata Aceh melalui Bidang Bahasa dan Seni mengadakan diskusi publik dengan tema Seni- Budaya dalam Pandangan Islam.

Diskusi tersebut menghadirkan lima pemateri: Dr Tgk Muhammad Hatta Lc MEd mewakili MPU Aceh, Muhammad Nazar sebagai pemerhati budaya Aceh, Prof Syamsul Rizal mewakili akademisi UIN Ar-Raniry, Tgk Muslim At- Thahiri mewakili Ikatan Muslim Aceh Meudaulat, dan Tgk Masrul Aidi sebagai Pimpinan Dayah Babul Maghfirah.

Diskusi publik ini akhirnya melahirkan tiga rekomendasi yang secara garis besar mengimbau MPU Aceh untuk meninjau kembali Fatwa Nomor 12 Tahun 2013, memperkuat koordinasi antarlembaga yang berkaitan dengan kesenian, dan ketiga mendorong Pemerintah Aceh untuk membuka ruang dialog tentang pengembangan seni budaya Aceh yang melibatkan ahli, pengamat, dan pelaku bidang terkait secara detail.

Terkait fenomena ini, ISBI Aceh melalui Rektor yang baru dilantik, yaitu Dr Wildan MPd memberikan secercah harapan dalam mewujudkan sinergisitas seni dan nilai keislaman khususnya di Aceh.

Dengan visinya untuk mewujudkan ISBI Aceh sebagai pusat kajian dan produk seni budaya berbasis islami di kawasan Asia Tenggara dan Sumatra pada tahun 2045.

Visi ini juga selaras dengan harapan Penjabat Gubernur Aceh, Bapak Achmad Marzuki yang menginginkan ISBI dapat menjaga kesenian Aceh yang sejauh ini terdapat beberapa kesenian yang sudah hilang keasliannya.

Kemudian ia juga mengharapkan bahwa kebudayaan Aceh dapat berkembang sesuai dengan landasan syariat Islam.

Secara garis besar, visi Dr Wildan dapat direalisasikan dalam langkah nyata berupa kontribusi ISBI dalam menjawab persoalan di atas.

Kerja sama dengan stakeholder terkait diharapkan mampu menjawab kebingungan masyarakat sejauh ini.

Termasuk dalam menerjemahkan bagaimana yang dimaksud dengan syair dan nyanyian yang tidak bertentangan dengan nilai keislaman itu.

Menyadur pendapat Dr Aslam Nur (Rektor Unmuha Aceh) yang menganalogikan pemahaman kebudayaan dengan terminologi pemahaman ayat yang bersifat qath’i dan dhanni atau ibadah mahdah dan ghairu mahdah.

Dengan memahami terminologi tersebut, pemikiran umat Islam terkait pelestrarian pemikiran Islam akan berkembang sepanjang zaman.

Pada akhirnya Islam dan kebudayaan tidak dibenturkan, tetapi dapat berkembang bersama meyesuaikan dengan kebutuhan dan kenyamanan masyarakatnya.

Dengan sumber daya manusia yang memadai, ISBI Aceh dapat menampilkan “display” seperti apa seni Aceh yang sebenarnya, atau seperti apa wujud seni dan nyanyian Aceh yang lekat dengan nilai keislaman.

 

Ini akan menjadi pelepas dahaga bagi masyarakat Aceh umumnya dan bagi para seniman Aceh khususnya.

Apabila dikaitkan dengan umur ISBI Aceh yang baru berusia sewindu mungkin visi tersebut akan terdengar seperti “cet langet”.

 

Akan tetapi kita harus menyadari bahwa ISBI Aceh berdiri di tanah Aceh yang memiliki guratan sejarah dan peradaban yang kuat.

Mengalir darah perjuangan dan tekad yang kuat.

Aceh pernah memiliki penyairpenyair hebat yang karyanya abadi sampai saat ini sebut saja Hamzah Fansuri dan Ali Hasjmy.

Aceh juga memiliki syair pembangkit semangat yang dapat mengusir Belanda yaitu Hikayat Prang Sabi.

Sangat disayangkan segala kemegahan Aceh pada masa dahulu, sekarang terdengar hanya sebatas cerita lisan saja.

 

Bukti-bukti peninggalan nenek moyang kita dahulu hanya menjadi hiasan semata, bahkan ada yang tidak terurus nasibnya.

Namun, tidak ada lagi tokoh-tokoh yang lahir menjadi Hamzah Fansyuri atau Ali Hasjmy masa kini, yang dengan kelihaian seni budayanya dapat memperkaya khazanah keilmuan bangsa Aceh.

Dengan ketekunan dan kealimannya dapat menjadi penerang untuk “menyalehkan” bangsa Aceh.

 

Maka dengan segala kekayaan budaya dan sejarah yang Aceh miliki, visi islami tersebut bukan hal yang mustahil untuk diwujudkan.

 

Selain itu, ISBI Aceh merupakan lembaga pendidikan yang berbasis seni dan budaya satu-satunya di Aceh, sudah seharusnya mengambil tanggung jawab moral sebagai garda terdepan dalam mengembangkan seni budaya yang tentunya berbasis nilai keislaman.

Hal ini akan menjadi ciri khas dan menjadi nilai jual yang tinggi apabila dibandingkan dengan perguruan tinggi seni budaya lainnya.

Apabila kita kembali pada tiga rekomendasi di atas, maka poin kedua dan ketiga dapat menjadi wadah yang sangat realistis bagi ISBI Aceh untuk berkontribusi.

Aceh sebagai daerah dengan segala kekayaan budayanya telah lama mati suri.

Dihantam konflik berkepanjangan dan diuji dengan musibah tsunami.

 

Sudah saatnya membangunkan kembali dengan rasa seni dan alunan napas islami.

Menarik untuk dinanti bagaimana visi keislaman dari Bukit Meusara (lokasi Kampus ISBI di Kota Jantho) dapat berkontribusi untuk kemajuan seni budaya di Bumi Iskandar Muda.

Wallahu’alam. (zaki14achmad@ gmail.com)

 

Jln. Transmigrasi, Gampong Bukit Meusara, Kec. Kota Jantho, Kab. Aceh Besar, 23911,, Aceh, Indonesia

Rektorat ISBI Aceh
Email : [email protected]
Telepon : +62 811-6891-581 (Call Center)
Fax : 0651-92023

Isi survei performa situs web

© 2022 Institut Seni Budaya Indonesia Aceh – Webmaster All Rights Reserved – Privacy and Copyright