Skip to content
Home » Informasi » TARI PHO

TARI PHO

  • by

Fungsi Tari : Tontonan
Pada upacara adat, seperti : perkawinan,  khitanan, dan lain sebagainya

Jumlah Penari : Kelompok
Genap (8-12) orang

Lokasi
Ujung Padang, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya

Tahun

Pencipta
Anonim

Unsur Penyajian Tari
Penari : Ditarikan oleh penari perempuan
Musik : Internal : Lantunan syair oleh penari
Eksternal : Syair yang dilantunkan oleh seorang cahi.
Kostum : Pakaian tradisional Aceh dengan kostum baju kuning, celana panjang hitam berkasab, kain pinggang (ija sungket) berwarna merah hati atau hijau tua, dan selendang berwarna merah hati atau biru tua. Para penari memakai aksesori gelang kaki (gleueng gaki) dan gelang tangan (boh ru). Selain itu, juga menggunakan sanggul Aceh (sanggoi) dengan posisi agak tegak ke atas dan sedikit miring ke kanan.
Properti : Sapu tangan berwarna merah, kuning, dan hijau
Pentas : Arena

Ket : –

Deskripsi Singkat Tari
Tari Pho berkembang di Aceh bagian barat dan selatan. Perkataan Pho berasal dari kata peubae-po, peubae berarti meratoh atau meuratok (meratapi nasib), tetapi disampaikan dalam kisah lirih yang mengandung unsur tragedi. Pho adalah panggilan atau sebutan penghormatan dari hamba kepada Tuhan Yang Mahakuasa atau kepada orang yang dimuliakan, seperti raja. Tarian ini diangkat dari sebuah legenda di Aceh Barat Daya, seorang ibu meratapi kematian anaknya yang bernama Malelang karena dihukum mati oleh penguasa atas tuduhan telah berbuat zina dengan calon istrinya, Madion. Malelang dan tunangannya dijatuhi hukum pancung oleh penguasa. Ketika hendak dihukum, datanglah ibu si Malelang, dia memohon kepada penguasa supaya mengizinkan anaknya menikah dan mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam sebagaimana yang sudah direncanakan. Penguasa daerah setempat memenuhi permintaan ibu si Malelang.

Sebelum dihukum mati, si Malelang meminta kepada ibunya membuat sambal bungong crot (bunga eceng gondok). Hal itu seperti diungkapkan dalam salah satu bait syair Pho, yaitu: “O bineuh sinyak dong di rot, kapot bungong crot pasoe lam ija. Juloh-juloh ie mon Blangpidie,tujoh pucok jok keu taloe tima. O bineuh lon balek laen, puteh licen seu-ot beurata”. Setelah si Malelang dan Madion menikah dan mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam, mereka dihukum mati. Ibu si Malelang meratapi seraya menari-nari, para ibu lain yang melihatnya pun ikut hanyut dalam mahaduka temannya, mereka ikut meratap dengan syair tersebut dan ikut menari bersama ibu si Malelang. Lama kelamaan gerakan dan syair mereka menyerupai sebuah tarian.

Pada mulanya Pho dilakukan pada acara kematian keluarga bangsawan dan keluarga raja. Hal itu dimaksudkan untuk  menyampaikan isi hati kepada Tuhan Yang Mahakuasa karena ditimpa kemalangan dengan cara meratap yang melahirkan kesedihan-kesedihan yang diiringi ratap tangis. Sejak berkembang agama Islam, tarian ini tidak lagi dilakukan pada waktu kematian, tetapi menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan pada upacara-upacara adat, seperti pada acara perkawinan dan khitanan, baik sebagai upacara dan hiburan, maupun pendidikan. Pho ditarikan oleh perempuan yang berjumlah genap (8-12) orang dan diiringi syair yang dilantunkan oleh seorang cahi.

Pertunjukan Pho terdapat variasi dari berbagai daerah di Aceh bagian barat dan selatan. Misalnya, pertunjukan Pho di Susoh, Aceh Barat Daya diawali dengan  gerak meuratok (meratap), ratapan seorang ibu terhadap anaknya. Gerak saleum (salam), dua orang penari memasuki arena pertunjukan dengan melantunkan kata-kata Saleum, kedua tangan dalam posisi sembah setengah dada. Memasuki gerak Bineuh, cahi memulai syair pembukaan dan para penari mengikuti irama bineuh tersebut sambil membentuk lingkaran dan mengisahkan legenda Malelang dan Madion. Pada gerak Tron Tajak Manoe, gerakan tarian menggambarkan kebiasaan seorang ibu memandikan anaknya. Pada bagian  gerak Jak Kutimang, gerakan tarian menggambarkan cara si ibu mendendang-sayangkan anaknya dengan penuh cinta kasih. Pada bagian Ayon Aneuk, gerak tari menggambarkan cara seorang ibu membuai anaknya di dalam ayunan. Pada bagian Lanie (penutup), gerak tarian bernuansa hiburan, nasihat, cerita, dan sebagainya, seperti Peulot Manok, bungong rawatu, Alah Hai TiTum BeudeeGrum Itek Manoe, dan lain-lain. Pada akhir pertunjukan ini ditutup dengan Saleum (salam) sekaligus menandai akhir pertunjukan. Adapun pola lantainya terdiri atas lingkaran, bersaf, dan belah ketupat.

Sementara tarian Pho di Sama Tiga, Aceh Barat dimulai dengan gerak saleum (salam hormat kepada penonton. Gerak peumulia jame, kisah tentang tata cara memuliakan tamu. Gerak salawat Nabi, berisi sanjungan dan salawat kepada Nabi. Gerak kisah Saidina Hasyim, berisi sejarah Saidina Hasyim saat berperang dan syahid. Gerak doa dipoma, pada bagian ini berisi doa dan harapan serta permohonan seorang ibu ketika anaknya telah menikah agar hidup bahagia dan sejahtera. Gerak jak manoe, menceritakan prosesi saat pengantin akan mandi dan setelah mandi. Gerak  hajat dipoma, bagian ini menceritakan nazar orang tua untuk menikahkan anaknya dan dapat melaksanakan pesta pernikahan anaknya.

Pertunjukan Pho menggunakan pakaian tradisional Aceh dengan kostum baju kuning, celana panjang hitam berkasab, kain pinggang (ija sungket) berwarna merah hati atau hijau tua, dan selendang berwarna merah hati atau biru tua. Para penari memakai aksesori gelang kaki (gleueng gaki) dan gelang tangan (boh ru). Selain itu, juga menggunakan sanggul Aceh (sanggoi) dengan posisi agak tegak ke atas dan sedikit miring ke kanan. Penari juga menggunakan sapu tangan berwarna merah, kuning, dan hijau. Dalam tari pho digunakan iringan musik internal, yaitu suara yang datang dari penari itu sendiri yang berfungsi sebagai pengiring setiap gerak yang ada dalam tari yang disebut syair. Tari Pho sebagai ungkapan perasaan yang dituangkan dalam bentuk gerak dan syair dan menjadikan tubuh sebagai media mengungkapkan ekspresi senang, sedih, serta suka duka.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jln. Transmigrasi, Gampong Bukit Meusara, Kec. Kota Jantho, Kab. Aceh Besar, 23911,, Aceh, Indonesia

Rektorat ISBI Aceh
Email : [email protected]
Telepon : +62 811-6891-581 (Call Center)
Fax : 0651-92023

Isi survei performa situs web

© 2022 Institut Seni Budaya Indonesia Aceh – Webmaster All Rights Reserved – Privacy and Copyright