Skip to content
Home » Informasi » TARI BINES

TARI BINES

Fungsi Tari :
Tontonan/hiburan rakyat, sarana komunikasi, penyambutan tamu

Jumlah Penari : Kelompok
Genap Jumlah penari 6, 8,10, 12 hingga 16 orang

Lokasi
Kabupaten Gayo Lues dan Aceh Tengah

Tahun

Pencipta
Anonim

Unsur Penyajian Tari

Penari : Ditarikan oleh penari perempuan

Musik : Tidak menggunakan alat musik melainkan dengan lantunan syair yang dilantunkan oleh penyanyi dan penari

Kostum : Baju Lukup bermotif tabur, atau disebut Baju Tabur; Kain Sarung; Kain Panjang atau Upuh Kerawang dengan dihias Renggiep di pinggirnya; Sanggul yang dihiasi daun kepies.Bisa juga diganti dengan daun bambu, daun pandan. Bahkan tidak jarang dengan hiasan kepala berwarna-warni; Hiasan leher berupa Belgong; Ikat Pinggang berupa Genit Rante yang dihiasi dengan Renggiep; Toping Gelang dan Sensim Metep.

Properti :

Pentas : Arena
Biasa ditarikan di halaman atau ruang terbuka

Ket : –

Deskripsi Singkat Tari

Bines itu merupakan sebuah kata yang lahir dari bahasa Gayo Lues, yang mana kata bines ini lahir dari seekor gajah putih, yang dulunya merupakan tunggangan dari seorang Raja Aceh Gayo yang pertama. Suatu hari raja itu ingin sekali pergi berkeliling-keliling keseluruh daerah di Aceh untuk melihat-lihat perkembangan rakyatnya yang ada di Aceh dengan menunggangi gajah putih tersebut. Seiring berjalannya raja dengan menunggangi gajah putih tersebut, tiba-tiba gajah putih yang ditungganginya berhenti ditengah jalan, dan akhirnya mengakibatkan jalan itu menjadi terhalang. Lalu untuk membuat gajah itu berjalan kembali, maka dikumpulkan para muda-mudi yang ada disekitar jalan untuk mengusir gajah tersebut dan mengelilinginya sambil menepuk tangan dan bersorak agar gajah tersebut mau pergi. Maka, tepukan tangan para muda-mudi tersebut sambil mengelilingi gajah putih itu menjadi awal dari lahirnya Tari Bines.

Perkembangan Tari Bines yang sudah mulai meluas di daerahnya, dengan perkembangannya yang dulunya Tari Bines ditarikan hanya pada upacara pemotongan padi sekarang dapat dilakukan pada acara apapun, baik itu pada acara perkawinan maupun acara besar lainnya. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman Tari Bines ini juga sudah mulai banyak yang mengkreasikannya, sehingga yang tadinya tarian ini merupakan tarian yang baku, tetapi sekarang sudah banyak yang mengkreasikan Tari Bines ini.

Sumber lain menyebutkan bahwa Bines merupakan seni tari yang lahir dari pengekangan terhadap norma-norma kehidupan. Pengekangan itu dilakukan seorang gadis yang bernama Ode Ni Malelang. Ia dihukum hingga meninggal. Ibunya meratap. Ratapan itulah awal lahirnya tarian bines. Menurut T Alibasyah Talsya dalam buku Aceh yang Kaya Budaya (1972) tarian bines dimainkan oleh beberapa orang gadis. Kisah awal dari lahirnya tarian ini bermula dari peristiwa yang penuh aib. Aib itu menimpa Ode Ni Malelang, yang terlanjur membuat mesum dengan seorang pemuda. Ia kemudian didera dengan hukuman cambuk, karena tidak mampu menahan deraan tersebut, Ode Ani Malelang meninggal dan membuat ibunya meratapi kepergiannya. Ibu si Ode Ni Malelang, sangat terpukul, dalam dukanya yang diliputi kesedihan dan perasaan malu akibat ulah anaknya, sang ibu meratap dan mengiba di depan orang banyak sambil berjalan selangkah demi selangkah mengelilingi mayat anaknya. Kesedihan sang ibu itu membuat orang-orang disekitarnya tersentuh, maka satu persatu sanak keluarga, para tetangga serta orang-orang yang turut bersedih di tempat itu. Merka terus mengikuti si ibu meratap sambil mengelilingi mayat si Ode Ni Malelang. Menurut Talsya, ratapan ibu saat mengelilingi mayat si Ode Ni Malelang itulah awal dari lahirnya tarian Bines.

Berawal dari kejadian itu, langkah para ibu mengelilingi mayat si Ode Ni Malelang kemudian menjadi sebuah tarian yang terus berkembang dengan berbagai perubahan, tarian yang kemudian dinamai bines. Ratpan para ibu diganti dengan syair-syair dan sajak-sajak kesedihan, yang berisikan nasehat-nasehat yang berguna dalam kehidupan masyarakat. Tarian bines dimulai denan ucapan Bismillah, para penarinya mengenakan pakaian khas daerah yang dilengkapi dengan berbagai asesoris, mulai dari bentuk sanggul yang dihiasi dengan bunga dan berbagai kembang. Dipinggang para penari diikat kain seperti kain batik. Sambil menari dan bergerak melingkar, para penari terus bersyair dan bersajak. Isi dari syair dan sajak tersebut menyinggung berbagai segi kehidupan. Selain dimainkan oleh para wanita, bines ada juga dimainkan oleh pria yang disebut Sining Bines. Gerak tari sining bines hampir seluruhnya sama dengan tarian bines, yaitu bergerak melingkar sambil bersyair. Dengan syair-syair tersebut para penonton diingatkan tentang hakikat hidup bermasyarakat yang harus tunduk pada hukum dan norma yang berlaku.

Dalam perkembanganya bines maupun sining bines mulai dimasukkan kisah-kisah lain dalam syairnya sesuai dengan tuntutan waktu dan maksud pengelarannya tanpa merubah bentuk aslinya yang sudah dikenal masyarakat. Yang membedakan bines dengan sining bines adalah hanyalah pada sining bines, para pria yang menari sambil bergerak melingkar, sesekali secara serentak menghentakkan kakinya ke lantai secara bervariasi dan berirama. Hentakan tersebut seolah-olah telah mengelamkan retapan daalm syairnya; ratapan yang menjadi asal mula lahirnya bines. Dengan hentakan kakinya tersebut seakan-akan para penari para penari mengingatkan penonton bahwa kededihan tidak selamanya harus dihadapi dengan air mata.

Tari Bines, tumbuh dan berkembang dipedesaan, di bekas-bekas kerajaan Linge dahulu seperti Desa Linge, Jamat, Sarnar Kilang, Pante Nangka, dan lain-lain. Di kawasan pinggiran Kota Takengon, seputar Bukit Barisan, yang susah ditempuh dengan kenderaan roda empat, kesenian ini menjadi hiburan seniaceh dalam upacara yang berlaku dalam lingkungan-lingkungan masyarakat pedalaman karena pengaruh modernisasi sukar menjangkaunya. Pada upacara-upacara perkawinan atau menyambut kedatangan tamu yang kebetulan mengunjungi daerah tersebut, kesenian tradisional ini selalu ditampilkan guna menghibur pihak yang datang sebagai suatu kebanggaan bagi masyarakat setempat. Perkembangan kesenian ini terbatas dalam ruang lingkup dimana masyarakat setempat berdominasi serta memerlukan hiburan atau karena kebutuhan suatu acara yang tiba-tiba atau undangan dari tetangga terdekat bersebelahan, yang ditempuh dengan berjalan kaki. Akibat dari keadaan inilah kehidupan kesenian Bines, berorientasi menurut ruang lingkup yang ada, sukar beradaptasi dengan kemajuan luas.

Tersisih dari perkembangan informasi atau teknologi yang berkembang, menjadikan kesenian ini terpaku pada standarisasi yang baku, menjadikan Bines tetap dalam kelahiran semula (asal) tak berubah. Kalau kita menyaksikan Bines di suatu desa yang lain, maka tergambar kemiripan-kemiripan yang sama, baik dalam tatanan gerak, lagu, puisi dan penampilan. Hal ini merupakan pertanda Bines adalah sebuah kesenian tradisional khas, murni, tanpa terpengaruh unsur-unsur luar.

Penari-penari ini beriringan,segerak serta seirama, bagai dua sungai kecil atau bukit barisan yang memiliki puncak dan lembah. Gerak Tari Bines ini biasanya berkisar antara tepuk serentak dalam satu warna, ke kanan, ke kiri atau ke depan. Tari Bines ini merupakan tarian yang ditarikan tanpa menggunakan istrumen musik melainkan dengan menggunakan nyanyian dari hati yang berisikan syair-syair dan nasihat-nasihat yang berguna. Adapun Tari Bines ini pementasannya dapat dilakukan dipanggung maupun dilapangan terbuka, sesuai dimana tarian ini diadakan. Pada motif gerak dalam Tari Bines ini adalah bermacam-macam Tari Bines ini dilakukan dengan gerakan bergoyang pinggul sambil menepuk-nepuk tangan dengan badan agak sedikit membungkuk, dan ada juga yang mengayunkan kedua tangan sambil memetik–metik jari. Gerakan ini dilakukan dengan cara melingkar sambil bersyair, begitulah gerakan-gerakan Tari Bines.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jln. Transmigrasi, Gampong Bukit Meusara, Kec. Kota Jantho, Kab. Aceh Besar, 23911,, Aceh, Indonesia

Rektorat ISBI Aceh
Email : [email protected]
Telepon : +62 811-6891-581 (Call Center)
Fax : 0651-92023

Isi survei performa situs web

© 2022 Institut Seni Budaya Indonesia Aceh – Webmaster All Rights Reserved – Privacy and Copyright